Jumat, 07 Desember 2012

Hak Asasi Manusia


HAM… kalian semua pasti sudah tau apa itu HAM. Ya… HAM adalah singkatan dari Hak Asasi Manusia, dari namanya pasti kita sudah bisa mendefinisikan apa itu HAM. HAM adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang dibawa sejak ia lahir hingga ia meninggal dunia, dan tidak seorangpun atau kelompok manapun yang boleh mengganggu hak tersebut. Hak tersebut meliputi hak untuk hidup, hak untuk damai, hak berbicara, hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik, dan masih banyak lagi.
Karena pentingnya hak asasi pada setiap manusia, maka dibentuk lembaga yang berfungsi untuk mengawasi terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disingkat dengan Komnas HAM.  Namun kenyataan yang ada, pelanggaran HAM masih merajalela. Buktinya masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di negara kita ini. Mulai dari pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, pembuangan bayi, penjualan anak, dan masih banyak lagi pelanggaran yang terjadi. Kita ambil contoh pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan si jagal dari Jombang, berapa banyak nyawa yang sudah ia habisi, berapa banyak orang yang hak hidupnya direnggut, berapa banyak keluarga yang kehilangan sanak saudaranya. Dengan mudahnya si jagal menghabisi nyawa para korbannya, bahkan tidak hanya dibunuh, mereka juga dimutilasi. Perbuatan yang dilakukan oleh Ryan sudah membuktikan bahwa hak untuk hidup bagi manusia masih sulit untuk didapatkan.
Melirik ke contoh pelanggaran HAM yang lain, yaitu masalah kekerasan dalam rumah tangga. Banyak kasus-kasus perceraian yang didasari alasan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Seorang suami yang seharusnya melindungi istrinya dan mengayomi keluarganya, malah berbuat sebaliknya.
Dari dua contoh di atas sudah jelas bahwa perlindungan HAM di negara kita ini masih perlu dipertanyakan. Apakah hak hidup untuk manusia sudah benar-benar dilindungi? Meskipun di Indonesia sudah ada Undang-Undang yang mengatur dengan jelas tentang perlindungan HAM seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 pasal 2 yang berbunyi “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan manusia”, namun masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM. Alangkah damainya negara kita ini jika kita sebagai warga negara selalu menjunjung nilai HAM, tanpa membedakan status, golongan, keturunan, agama, warna kulit, suku, jabatan, dan lain sebagianya. Sehingga tidak ada lagi kasus pembunuhan, kasus pembuangan bayi, kasus penganiayaan, kasus kekerasan, ataupun kasus-kasus yang lain. Dan diharapkan pemerintah bisa bekerja lebih baik agar tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran HAM.

GURU ZAMAN DULU VS GURU SEKARANG


Menurut banyak orang, guru merupakan sosok yang patut digugu dan ditiru. Mereka berpotensi menjadi contoh, panutan, atau bahkan menjadi teladan bagi masyarakat sekitar. Dulu, nenek sering bilang kalau beliau ingin melihat cucunya ada yang menjadi guru atau ustadz. Karena menurut beliau, jika menjadi guru atau ustadz, ia akan disanjung atau dipuja banyak orang.

Saya masih ingat, dulu salah satu guru saya berangkat ke sekolah naik sepeda ontel. Pagi-pagi beliau berangkat penuh semangat. Dalam perjalanan, beliau disapa tetangga saya dan dengan ramahnya beliau menjawab sapaan itu, lalu kembali mengayuh sepedanya. Tapi sekarang, ketika beliau sudah menjadi seorang sarjana yang notabennya mempunyai gelar S.Pd dan mendapat tunjangan sertifikasi, beliau berubah. Sekarang beliau berangkat naik sepeda motor keluaran terbaru. Dengan sombongnya berlalu begitu saja tanpa ada senyuman pada orang yang menyapa beliau. Mungkinkah keberadaan sertifikasi mampu mengubah jati diri seorang guru????

Mungkin benar adanya, sertifikasi ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang dulunya seorang guru hanya mendapat gaji Rp. 25.000,- kini bisa mencapai enam nominal. Tapi bagaimana dengan guru-guru yang masa baktinya sudah melampaui 20 tahun tapi tidak bisa mendapatkan tunjangan lebih hanya karena tidak mempunyai kualifikasi pendidikan yang dijadikan acuan untuk sertifikasi, yaitu minimal S1. Sementara ada guru yang memang sudah terjaring sertifikasi karena sudah mempunyai kualifikasi pendidikan S1 tapi dia belum pernah sedetikpun menginjakkan kakinya di sekolah dan berdiri di hadapan anak-anak didiknya untuk mengajar. Bukankah itu sebuah kendala bagi pemerintah agar bisa memberi kebijakan yang benar-benar adil??

Meskipun pemerintah mencanangkan bahwa pada tahun 2015, semua guru baik dari tingkat playgroup, sekolah dasar, sekolah lanjutan bahkan tingkat atas, sudah bisa mendapatkan sertifikasi, tidak menjamin semua guru memiliki kualitas yang diharapkan pemerintah. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap pada guru yang bersangkutan agar lebih meningkatkan mutu pendidikan anak didiknya. Tapi fakta di lapangan berkata lain, justru dengan adanya sertifikasi, guru-guru bukannya berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk anak didiknya, melainkan berlomba-lomba menumpuk kekayaan. Sementara guru-guru yang sudah memperoleh sertifikasi  bisa hidup nyaman, di sisi lain, guru-guru yang belum memperoleh sertifikasi harus bisa bertahan hidup dengan penghasilan yang pas-pasan. Meskipun pemerintah sudah gembar-gembor mengumumkan upah guru akan disetarakan UMR, toh sekarang belum terealisasi.

Guru sekarang, banyak yang mementingkan pribadinya daripada masa depan anak didiknya. Berbanding terbalik dengan guru zaman dulu, yang benar-benar ikhlas mendidik anak didiknya. Tapi bukan berarti semua guru seperti itu, di  belahan bumi sana, pasti masih ada sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdasakan anak bangsa, yang belum tentu mendapatkan imbalan sesuai pengabdiannya.